Jepara Berada Di Pulau

Jepara Berada Di Pulau

Selat Muria yang pisahkan Pulau Jawa

Selat Muria adalah wilayah laut yang dulunya pernah memisahkan antara daratan Jawa dengan Gunung Muria. Karena keberadaan selat itu, kota-kota pantura yang sekarang bernama Jepara, Kudus, dan Pati pernah berada terpisah di luar daratan Pulau Jawa.

Pada masa glasial, Gunung Muria beserta pegunungan kecil Patiayam dulunya bergabung dengan daratan utama Pulau Jawa. Perluasan pembekuan es di kutub menyebabkan air laut surut hingga 120 meter dari kondisi permukaan saat itu.

Pada masa inter glasial, kejadiannya berbalik. Suhu bumi menghangat sehingga menyebabkan terjadinya pencairan es, volume air laut pun meningkat. Gunung Muria terisolir dari dari Pulau Jawa dan terpisahkan oleh laut dangkal yang tak terlalu lebar.

Dahulu, pusat kerajaan Demak terletak di tepi pantai Selat Muria yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Muria. Kapal dapat berlayar dengan baik saat melewati selat yang cukup lebar. Oleh karena itu, dalam sejarah, Kerajaan Demak juga disebut dengan kerajaan maritim.

Baca juga Pantai Ombak Mati, Cuilan Surga yang Bersahaja

Mengutip dari Kemendikbud.go.id, dulunya Selat Muria adalah jalur perdagangan dan transportasi yang ramai dilalui. Selat itu menjadi jalan antara masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dengan mereka yang tinggal di pulau-pulau lainnya.

Karena adanya selat ini, masyarakat yang ingin bepergian antara Kudus dan Demak harus menggunakan kapal. Keberadaan selat ini pulalah yang dahulu membuat Kerajaan Demak menjadi jaya karena menguasai jalur maritim.

Kejayaan Demak ini, menurut sejarawan H.J. De Graaf dan T.H.T Pigeaud dalam bukunya yang berjudul ''Kerajaan Islam Pertama di Jawa'' (1974), didukung oleh lokasinya yang dekat dengan lautan.

“Letak Demak cukup menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun pertanian. Selat yang memisahkan Jawa Tengah dari Pulau Muria pada masa itu cukup lebar dan dapat dilayari dengan leluasa, sehingga dari Semarang melalui Demak, perahu dagang dapat berlayar sampai Rembang, baru sejak abad ke-17 Selat Muria tak dapat dipakai lagi sepanjang tahun,” tulis De Graaf dan Pigeaud.

Penemuan bukti dan proses pendangkalan

Bukti adanya Selat Muria pada zaman dahulu ini adalah dengan ditemukannya sebuah fosil kerang laut, serta banyak batuan karang yang masih berdiri di Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Ada bukti lainnya, yaitu ketika membuat sumur bor dengan kedalaman 20 meter air yang keluar merupakan pasir serta rasa air yang keluar berasa asin seperti halnya air laut.

Hal lainnya adalah penemuan benda purbakala di Situs Patiayam Kudus, berupa bukti kehidupan manusia dan hewan darat. Juga ditemukan bukti kehidupan hewan laut zaman dulu, tak hanya hewan darat seperti harimau, badak, babi, gajah, kerbau, banteng, dan rusa yang ditemukan.

Beberapa fosil hewan laut seperti moluska, ikan hiu, penyu, dan buaya, juga ditemukan di sana. Ini membuktikan bahwa daerah Patiayam dulu pernah menjadi pemisah antara Muria dan Pulau Jawa. Fosil hewan-hewan tersebut diperkirakan berusia di atas 800 ribu tahun.

Sementara, pada Situs Medang yang terletak di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, dalam sebuah ekskavasi yang dilakukan di sana, ditemukan jejak sebuah hunian kuno dan beberapa temuan lainnya seperti fragmen gerabah, keramik, dan perhiasan berbahan emas.

Baca juga Ceceran Nama Besar Kartini di Penjuru Jepara

Dari adanya temuan-temuan tersebut, diduga Situs Medang dulunya merupakan hunian kuno yang letaknya berada di sisi selatan Selat Muria.

Memasuki abad ke-17, Selat Muria semakin dangkal sehingga kapal tidak dapat berlayar mengarunginya. Meski demikian, pada musim hujan perahu-perahu kecil masih bisa mengarungi selat itu dari Demak hingga Juwana.

Pada 1996, seorang peneliti bernama Lombard menjelaskan ada air laut dari Selat Muria yang masih tersisa sampai sekarang. Air laut yang terperangkap di dataran Jawa itu kemudian dikenal dengan nama Bledug Kuwu.

Mengutip dari Siagabencana, Selat Muria hilang akibat adanya sedimentasi yang terjadi secara terus-menerus. Sedimentasi tersebut terjadi akibat adanya pengangkatan pegunungan Kendeng.

Bukan hanya itu, diperkirakan adanya sendimentasi tersebut akibat perubahan arah aliran Bengawan Solo purba yang dulunya mengalir ke pantai selatan Wonogiri, lalu berubah mengalir ke arah utara.

Meski belum ditemukan bukti yang spesifik bahwa sungai Bengawan Solo mengalir ke arah Selat Muria. Tetapi, jika dilihat dari pola morfologi Pulau Jawa, maka sangat memungkinkan hal tersebut terjadi.

Namun, hilangnya Selat Muria diduga menjadi awal dari kemunduran Kerajaan Demak yang pernah berjaya di laut Nusantara. Karena pendangkalan itu, Demak yang mulanya berada di tepi Selat Muria kemudian berubah menjadi sebuah kota yang dikelilingi oleh daratan.

Setelah pendangkalan yang terjadi di Selat Muria, pelabuhan kerajaan itu kemudian berpindah ke Jepara. Pada 2014 lalu sempat memunculkan kekhawatiran bahwa Selat Muria akan terbentuk lagi akibat banjir yang menyerang Kabupaten Pati dan sekitarnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Secara umum, rumah bagiku artinya adalah sebagai tempat di mana kita merasa nyaman dan sepenuhnya menjadi diri sendiri. Rumah adalah tempat di mana kita tidak perlu berupaya untuk memberikan impresi kepada siapapun. Tempat yang aman dan membuat kita selalu betah sehingga ingin selalu kembali.

Namun di masa pandemi, kata rumah dalam arti yang sebenarnya seakan bergeser. Aku merasa pandemi ini memaksa kita untuk diam di rumah dan menghadapi pikiran-pikiran kita sendiri. Rumah dalam arti yang sebenarnya malah bisa jadi bukan zona nyaman saat ini, melainkan tempat yang menantang. Bayangkan kita harus bersama keluarga setiap hari dan tentunya semakin sering kita bertemu, semakin sering timbul friksi. Kalau aku ditanyakan sekarang zona nyamanku ada di mana, mungkin aku akan jawab di luar kota, berlibur. Apalagi aku adalah seorang ekstrover yang suka bertemu banyak orang. Di saat seperti sekarang yang membatasiku bertemu banyak orang tapi tetap harus mengeluarkan ide dan konsep kreatif untuk menghasilkan karya, bisa membuatku tidak nyaman.

Sebenarnya, tidak ada salahnya ingin selalu berada di zona nyaman. Tapi ingatlah bahwa di dalam zona nyaman kita akan kesulitan untuk bertahan dan berjuang. Terkadang saat berada di zona nyaman kita rela untuk melewatkan sesuatu yang luar biasa demi mempertahankan kondisi di mana kita tahu tidak akan hal buruk yang berisiko membahayakan. Hanya saja, aku yakin bahwa normalnya, manusia tidak bisa selalu berada di zona nyaman selama yang diinginkan. Pada satu titik hidup, kita “dipaksa” keluar dari zona nyaman.

Terkadang saat berada di zona nyaman, kita rela untuk melewatkan sesuatu yang luar biasa, demi mempertahankan kondisi di mana kita tahu tidak akan hal buruk yang berisiko membahayakan.

Terkadang aku pun merasa seperti ingin “lari”. Tapi akhirnya, pertanyaan yang akan aku tanyakan pada diriku sendiri adalah alasan mengapa aku ingin pergi. Aku menyadari ternyata kita tidak bisa terus lari. Pasti dalam hidup ada satu masa yang mengharuskan kita untuk menemukan “rumah” dalam diri sendiri. Jadi, kita bisa merasa selalu di “rumah” di manapun atau kapanpun kita berada. Pada akhirnya, kita bisa baik-baik saja dengan pikiran-pikiran sendiri.

Pasti dalam hidup ada satu masa yang mengharuskan kita untuk menemukan “rumah” dalam diri sendiri.

Jika melihat kembali ke belakang, perjalanan diriku yang sekarang melibatkan begitu banyak orang dan situasi yang berbeda-beda. Aku kurang percaya dengan istilah self-made. Sebaliknya, aku percaya bahwa butuh banyak orang untuk membentuk satu individu. Di balik jati diri seseorang ada jerih payah seribu orang dalam pembentukannya. Itulah yang terjadi padaku. Dalam aspek karier, awalnya aku hanyalah seorang ilustrator paruh waktu. Namun karena bertemu dengan banyak orang, mendapat dukungan dari banyak orang, yang bahkan banyak aku dapatkan dari teman-teman di media sosial, aku bisa mendapat lebih banyak kesempatan.

Di balik jati diri seseorang ada jerih payah seribu orang dalam pembentukannya.

Dalam perjalanan itu pun, aku melihat kata “penerimaan” menjadi kata kunci dalam pembentukan diriku baik secara personal maupun profesional. Sebelum kuliah, aku berada di lingkungan yang cukup homogen. Aku berupaya keras untuk bisa diterima dengan standar yang ada dan bisa berbaur. Ternyata upaya itu cukup berat hingga membuatku jadi sulit menerima diri sendiri. Terkadang aku merasa tidak aman dan selalu cemas. Perihal menguncir rambut saja tidak berani karena merasa akan terlihat jelek atau aneh.

Tapi itu semua berubah ketika aku berada di kuliah jurusan seni di mana begitu banyak orang-orang yang terlihat eksentrik dan unik menurut pemahaman mereka sendiri-sendiri. Ternyata, berada di lingkungan dengan beragam orang yang berbeda bisa menggali sesuatu dalam diri yang tersembunyi. Aku merasa menerima banyak dukungan atas apa yang aku lakukan dan apa adanya aku. Sekaligus memahami bahwa tidak selamanya perjalanan akademis atau karier harus selalu kompetitif. Ada lebih dari satu cara untuk mencapai sesuatu, dan menang bersama-sama rasanya lebih nikmat.

Tidak selamanya perjalanan akademis atau karier harus selalu kompetitif. Ada lebih dari satu cara untuk mencapai sesuatu, dan menang bersama-sama rasanya lebih nikmat.

Saat ini, walaupun aku sudah cukup menerima diri sendiri, tapi aku merasa belum menjadi versi paling otentik 100%. Aku merasa ketika kita sudah menjadi otentik 100% berarti tidak ada lagi yang perlu dipelajari dan diubah. Sedangkan, mengubah konsep yang sudah kita tahu selama ini dan harus percaya pada suatu konsep baru yang ada di luar kita adalah hal yang sulit. Contohnya dalam aspek profesional, terkadang aku sulit untuk jujur ke diri sendiri atau kepada audiens jika pada satu waktu aku sedang tidak merasa dalam suasana ingin menggambar. Atau misalnya aku bisa bilang berkarya untuk diri sendiri dan tidak butuh validasi, tapi ternyata aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku berharap karya itu bisa direspon positif. Saat tahu ternyata ada orang yang kurang suka dengan karyaku, aku masih bisa goyah dengan prinsip “berkarya bukan untuk validasi”. Artinya, aku masih bisa tidak jujur pada diri sendiri dan belum otentik. Tapi aku berharap suatu hari nanti, aku bisa benar-benar menjadi otentik 100%.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Berdasarkan Keppres yang diteken pada 2 Maret 2017 lalu itu, terdapat 111 pulau kecil terluar.

"Menetapkan 111 (seratus sebelas) Pulau sebagai Pulau-Pulau Kecil Terluar,” bunyi Pasal 1 Keppres tersebut, seperti dikutip dari laman Setkab, Selasa (7/3/2017).

Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 menyebutkan, Keppres ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yakni 2 Maret 2017.

Menurut Keppres ini, Pulau-Pulau Kecil Terluar sebagaimana dimaksud disusun dalam daftar yang terdiri dari nama pulau, nama lain pulau, perairan, koordinat titik terluar, titik dasar dan petunjuk jenis garis pangkal, dan provinsi, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Presiden ini.

Pulau-Pulau Kecil Terluar sebagaimana dimaksud, yang terdiri dari nama pulau, nama lain pulau, perairan, koordinat titik terluar, titik dasar dan petunjuk jenis garis pangkal, dan provinsi, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Presiden ini.

Berikut inil daftar 111 Pulau-Pulau Kecil Terluar:

I. Kepri: 1. Pulau Berakit; 2. Pulau Sentut; 3. Pulau Tokong Malang Biri; 4. Pulau Damar; 5. Pulau Mangkai; 6. Pulau Tokong Nanas; 7. Pulau Tokongbelayar; 8. Pulau Tokongboro; 9. Pulau Semiun; 10. Pulau Sebetul; 11. Pulau Sekatung; 12. Pulau Senua; 13; Pulau Subi Kecil; 14. Pulau Kepala;

104. Pulau Tokonghiu Kecil; 105. Pulau Karimun Anak; 106. Pulau Nipa; 107. Pulau Pelampung; 108. Pulau Batuberantai; 109. Pulau Putri; 110. Pulau Bintan; 111. Pulau Malang Berdaun.

II. Kalimantan Utara: 15. Pulau Sebatik; 16. Karang Unarang.

III. Kalimantan Timur: 17. Pulau Maratua; 18. Pulau Sambit.

IV. Sulawesi Tengah: 19. Pulau Lingian; 20. Pulau Solando; 21. Pulau Dolangan.

V. Sulawesi Utara: 22. Pulau Bongkil (Pulau Bangkit); 23. Pulau Mantehage (Pulau Manterawu); 24. Pulau Makalehi; 25. Pulau Kawaluso; 26. Pulau Kawio; 27. Pulau Marore; 28. Pulau Batuwaikang; 29. Pulau Miangas; 30. Pulau Marampit; 31. Pulau Intata; 32. Pulau Kakorotan; 33. Pulau Kabaruan.

VI. Maluku Utara: 34. Pulau Yiew Besar.

Step 1: The distance on the number line is represented by the square root of the time in seconds. Step 2: From the diagram, the distance covered is 5 units. Step 3: Let the time be represented by t seconds. So, t=5\sqrt{t}=5t​=5. Step 4: Squaring both sides gives t=52=25t=5^2=25t=52=25. Step 5: Therefore, the time shown on the number line is 25s=5s\sqrt{25}s=5s25​s=5s.

Liputan6.com, Jakarta: Sebuah wacana sensitif ditiupkan Sutiyoso, awal pekan silam. Gubernur DKI Jakarta itu berniat merelokasi perjudian di Kepulauan Seribu. Meski bukan isu baru, masyarakat tetap saja mengomentarinya secara beragam. Ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju. Namun, banyak pula yang tak mempunyai sikap jelas. Terserah Pemda deh, kita mah ikut aje. Begitu kira-kira. Sutiyoso memang berniat membangun fasilitas pendukung sarana perjudian di kepulauan yang berada di utara Ibu Kota itu. Rencana ini bukan tak berdasar. Praktik perjudian di daratan Ibu Kota makin sulit diberantas, walau Pemda telah bekerja sama dengan polisi. Itulah sebabnya, pemindahan lokasi judi ke tempat yang sulit dijangkau warga menjadi pilihan yang paling tokcer. "Kini tinggal menunggu persetujuan DPRD," ujar Sutiyoso. Selain itu, Sutiyoso yang juga mantan Panglima Daerah Militer Jaya tampaknya paham betul jika lokalisasi judi dapat mendongkrak pendapatan asli daerah. Ini dapat membantu Pemda Jakarta yang memang memerlukan duit banyak untuk membangun Ibu Kota agar lebih mengkilap lagi. Istilahnya, di tengah kas Pemda yang seret, uang pasti bakal gampang diraup dari meja judi. Tersiar kabar, jika Pemda berhasil merelokasi perjudian, uang kas akan bertambah Rp 1,5 sampai Rp 1,8 triliun per tahun. Luar biasa. Jika tak percaya, tengok saja pengalaman Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI (1966-1977). Tak seorang pun menyangkal bahwa limpahan uang perjudian yang dilegalkan Bang Ali dapat menyulap Jakarta dari daerah kumuh, menjadi kota yang sedikit mentereng. Saat itu, Gubernur Ali memang memberikan kepercayaan kepada pengusaha Apyang dan Yo Putshong untuk mengelola perjudian di kawasan Ancol, Jakarta Utara, bernama Copacabana--ditutup pada April 1981 dan sekarang dijadikan Hotel Horizon. Ini membuat judi Lotto (lotere totalisator), petak sembilan, dan hwa-hwe, yang tadinya dimainkan secara sembunyi, mulai terang-terangan dimainkan masyarakat. Secara fisik, hasilnya memang luar biasa. Kas Pemda Jakarta kontan bertambah gemuk. Sejumlah gedung sekolah, rumah sakit, dan Puskesmas langsung didirikan. Jalan-jalan juga mulai diperbaiki. Ibarat kata, jalan-jalan di Jakarta yang mulanya becek, langsung bisa buat bersepatu roda. Jakarta pun lebih menyala di malam hari. Kondisinya berubah 180 derajat. Pokoknya, benar-benar meriah. Tapi Ali belum puas. Ia terus membenahi pemukiman kumuh dengan membangun proyek M.H. Thamrin--kini mejadi jalan utama di Ibu Kota. Ali juga merenovasi Taman Monas serta membangun Taman Ismail Marzuki, Gedung Arsip Nasional, Gelanggang Remaja Kuningan, Pasar Seni Ancol, Planet Senen, sampai lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak. Alhasil, di akhir jabatannya, Bang Ali berhasil mengumpulkan kas sebesar Rp 17 miliar. Saat itu, angka belasan miliar rupiah jelas bukan jumlah yang sedikit, mengingat anggaran awal Pemda hanya Rp 66 juta. Artinya, Bang Ali yang dijuluki Gubernur Maksiat sukses melipatgandakan uang Pemda sekitar 250 kali lebih banyak. Mengutip Direktur Center for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS), Andrinof A. Chaniago, rencana Sutiyoso melokalisasi perjudian memang harus dilihat secara proporsional. Maksudnya, jika perjudian benar-benar dipindahkan ke pulau yang kosong, rencana lokalisasi itu menjadi realistis. "Bisa saja, asalkan Pemda juga menyiapkan perangkat hukum yang jelas," kata Andrinof. Senada dengan Andrinof, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) Muhaimin Iskandar juga menilai bahwa ide lokalisasi tempat perjudian sebagai gagasan bagus yang perlu dipertimbangkan. Sebab, suka tidak suka, kasus perjudian tetap marak di Tanah Air, meski ada perundang-undangan yang melarang. Karena itu, perlu dicari bentuk lain penanggulangan perjudian. Lokalisasi adalah satu di antaranya. "Tapi itu perlu persetujuan DPR dan DPRD," kata dia. Muhaimin tidak bohong. Praktik perjudian memang marak, baik yang dilakukan secara sembunyi maupun terang-terangan. Masyarakat juga mahfum jika permainan judi di kawasan Mangga Besar, Kota, Harco, Glodok, Hayam Wuruk, dan Kalijodo begitu diminati. Di tempat itu, semua permainan yang menjadi jalan pintas untuk kaya (atau miskin?) tersedia. Dari rolet, bola tangkas, mickey mouse, qiu-qiu, kasino, sampai koprok. Omzet per malamnya pun sangat luar biasa. Bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan, menurut mantan narapidana Anton Medan, omzet perjudian di sejumlah kawasan bisa mencapai miliaran rupiah. Bagi yang takut mendatangi tempat perjudian, karena tak biasa atau takut digerebek, bandar judi juga bisa memanjakan Anda dengan sejumlah permainan di media online. Menurut laporan Jupiter Media Metrix Inc yang ditulis Infokomputer, situs judi seperti www.casino.com, webstakes.com, aceshigh.com, luckynugget.com, dan bingocanada.com sangat ramai diklik atau dikunjungi. Selama 2001, casino.com dan webstakes.com memiliki jumlah unique visitor sebanyak 2,3 juta orang. Sedangkan aceshigh.com 2,1 juta pengunjung dan luckynugget.com sebanyak 1,7 juta pengunjung. Karena, seperti halnya pelacuran, perjudian memang sangat sulit diberantas. Kini wacana telah bergulir, tanggapan juga sudah bertebaran. Pemda Jakarta pun telah mengirim utusan ke Genting Highland--lokasi perjudian di Malaysia. Namun, tetap saja legalisasi lokalisasi perjudian tak bisa diberlakukan. Terlalu banyak rintangan yang menghalangi rencana tersebut. Padahal, berdasarkan hasil studi banding ke Malaysia, rencana melokalisasi perjudian di Kepulauan Seribu adalah pilihan terbaik dalam upaya mengendalikan dan mempersempit dampak buruk perjudian. Sejumlah kalangan masyarakat, baik secara perorangan, atas nama organisasi, lembaga swadaya masyarakat, maupun partai mengecam rencana lokalisasi perjudian. Bahkan, masyarakat Kepulauan Seribu juga menolak rencana Pemda memindahkan perjudian di tempat tinggal mereka. Majelis Ulama Indonesia malah terang-terangan menolak rencana Sutiyoso. Selain telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, lokalisasi tak menjamin perjudian akan hilang. "Itu maksiat dan tak bisa ditolerir," kata Umar Shihab, Ketua MUI, tegas. Apalagi, semua agama melarang praktik perjudian. Selain MUI, Partai Keadilan, PPP Reformasi, Partai Bulan Bintang, dan terakhir Polda Metro Jaya juga menolak legalisasi perjudian. Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar malah meminta Sutiyoso menegakkan law enforcement daripada melokalisasikan perjudian di Kepulauan Seribu. Ia meminta semua penjudi yang tertangkap tangan ditindak tegas. "Mereka bisa dikenai hukuman Pasal 303 KUHP dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1981," ujar Said Agil. Lagi pula, siapa yang berani menjamin bahwa perjudian di daratan akan lenyap jika dipindahkan ke kepulauan. Semua kembali ke Pemda dan DPRD Jakarta. Tetap ngotot melokalisasi perjudian atau menghukum para penjudi secara tegas? Masyarakatlah yang akan melihatnya. Bagaimana Bang Yos?(ULF)

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Istana Negara, Jakarta pada Ahad, 18 Februari 2024. Pertemuan tersebut digelar hanya beberapa hari setelah Pemilu 2024 berlangsung.

Persamuhan keduanya berlangsung tertutup. Surya Paloh, yang datang tanpa diiringi kendaraan pengawal kepolisian, berjumpa Jokowi selama lebih dari satu jam. Bos Media Group itu tiba sekitar jam 18.45 WIB dan baru meninggalkan kawasan Istana pada pukul 20.00 WIB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari Koran Tempo edisi Selasa, 20 Januari 2024, undangan makan malam diterima Surya Paloh ketika dia sedang berada di pulau pribadinya Kaliage, Kepulauan Seribu pada Ahad sore. Pertemuan antara Jokowi dengan Surya jadi pembicaraan publik. Sebab, Partai Nasdem mengusung pasangan calon nomor urut satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sementara itu, putra sulung Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden nomor urut dua mendampingi Prabowo Subianto.

Tempo menghubungi salah seorang pejabat sekaligus kolega Jokowi yang mengetahui pertemuan keduanya. Sumber itu mengatakan Jokowi berpesan kepada Surya agar NasDem mau menerima hasil hitung cepat maupun hitung resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sementara ini, Prabowo-Gibran memang sedang unggul dalam penghitungan suara, baik hitung cepat maupun hitung resmi. Hingga pukul 08.00 WIB hari ini, mereka mendapat 58,62 persen suara dari total 72,05 persen suara yang sudah masuk.

Selain membahas keunggulan tersebut, Jokowi juga disebut membicarakan peluang partai Surya Paloh bergabung dengan kubu Prabowo-Gibran. “Pertemuan itu juga membahas kemungkinan Nasdem bergabung dengan poros Prabowo-Gibran,” kata pejabat itu kepada Tempo pada Senin, 19 Februari 2024.

Menurut sumber itu, Nasdem adalah partai yang paling mungkin didekati saat ini melalui lobi politik dibandingkan partai-partai lain dari luar koalisi pendukung Prabowo Gibran.

Sementara itu, Presiden Jokowi mengklaim pertemuan dirinya dengan Surya Paloh dilakukan karena dia ingin menjembatani semua pihak. "Saya itu sebetulnya hanya jadi jembatan. Yang penting nanti partai. Ya (jembatan) semuanya. saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya," kata Jokowi usai peresmian Rumah Sakit Pertahanan di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, pada Senin, 19 Februari 2024.

Baca liputan lengkap Koran Tempo di sini.

SULTAN ABDURRAHMAN | ANDI ADAM FATURAHMAN | FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Jepara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibu kotanya adalah Kecamatan Jepara. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di barat dan utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di timur, serta Kabupaten Demak di selatan.

Jauh sebelum adanya kerajaan-kerajaan di tanah jawa, di ujung sebelah utara Pulau Jawa sudah ada sekelompok penduduk yang diyakini orang-orang itu berasal dari daerah Yunnan Selatan yang kala itu melakukan migrasi ke arah selatan. Jepara saat itu masih terpisah oleh Selat Juwana.

Jepara sendiri berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara, dan Jumpara, yang kemudian menjadi Jepara. Kata Jepara sendiri memiliki makna sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.

Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang'' (618-906 M), mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.

Baca juga Adon-Adon Coro, Minuman Berkhasiat Khas Bumi Kartini PH

Kota pelabuhan itu banyak dikunjungi oleh kapal asing, baik yang datang dari India, Arab, Cina, Kamboja, maupun dari Eropa Barat. Jepara kemudian menjadi sangat ramai oleh kesibukan di bidang pelayaran, perniagaan, perdagangan, dan menjadi salah satu pintu gerbang masuknya berbagai pengaruh asing.

Sebagai salah satu kabupaten atau daerah tertua di Jawa, Jepara telah mengalami berbagai lintasan sejarah yang dimulai sejak munculnya pemerintahan di masa kerajaan. Beberapa kerajaan diketahui telah menguasai Jepara, di antaranya Kerajaan Kalingga, Mataram Kuno, Majapahit, Demak, Kalinyamat, hingga Mataram Islam.

Kota Jepara juga terkenal dengan kerajinan ukiran kayu yang memiliki sejarah panjang. Meski sempat mengalami pasang surut, namun semakin ke sini kerajinan ukiran kayu di Jepara semakin mendunia. Karena itulah kota itu sampai dijuluki “The World Carving Center” atau Kota Ukir Dunia.

Tapi banyak yang tidak tahu bahwa Jepara pernah terpisah dari Pulau Jawa, bersama daerah sekitar Gunung Muria yang meliputi Kabupaten Kudus, Jepara, dan Pati, dengan Pulau Jawa dulu dipisahkan dengan sebuah laut dangkal atau selat.